Friday, March 07, 2008

Siti Fadilah : Virus Flu Burung Buatan USA dan WHO

February 27, 2008

Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) bikin gerah World Health Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS). Fadilah berhasil menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu dalam mengembangkan senjata biologi dari virus flu burung, Avian influenza (H5N1).

Setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusahaan dari negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul Saatnya Dunia Berubah!
Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung. Selain dalam edisi Bahasa Indonesia, Siti juga meluncurkan buku yang sama dalam versi Bahasa Inggris dengan judul It's Time for the World to Change. Konspirasi tersebut, kata Fadilah, dilakuakn negara adikuasa dengan cara mencari kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus flu burung.
"Saya mengira mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu burung dengan menjual vaksin ke negara kita," ujar Fadilah kepada Persda Network di Jakarta, Kamis (21/2).

Situs berita Australia, The Age, mengutip buku Fadilah dengan mengatakan, Pemerintah AS dan WHO berkonpirasi mengembangkan senjata biologi dari penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung dengan memproduksi senjata biologi. Karena itu pula, bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai protes dari petinggi WHO.

"Kegerahan itu saya tidak tanggapi. Kalau mereka gerah, monggo mawon. Betul apa nggak, mari kita buktikan. Kita bukan saja dibikin gerah, tetapi juga kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara maju menidas kita, lewat WTO, lewat Freeport, dan lain-lain. Coba kalau tidak ada kita sudah kaya," ujarnya.

Fadilah mengatakan, edisi perdana bukunya dicetak masing-masing 1.000 eksemplar untuk cetakan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Total sebanyak 2.000 buku.
"Saat ini banyak yang meminta jadi dalam waktu dekat saya akan mencetak cetakan kedua dalam jumlah besar. Kalau cetakan pertama dicetak penerbitan kecil, tapi untuk rencana ini, saya sedang mencari bicarakan dengan penerbitan besar," katanya.

Selain mencetak ulang bukunya, perempuan kelahiran Solo, 6 November 1950, mengatakan telah menyiapkan buku jilid kedua. "Saya sedang menulis jilid kedua. Di dalam buku itu akan saya beberkan semua bagaimana pengalaman saya. Bagaimana saya mengirimkan 58 virus, tetapi saya dikirimkan virus yang sudah berubah dalam bentuk kelontongan. Virus yang saya kirimkan dari Indonesia diubah-ubah Pemerintahan George Bush," ujar menteri kesehatan pertama Indonesia dari kalangan perempuan ini.

Siti enggan berkomentar tentang permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memintanya menarik buku dari peredaran. "Bukunya sudah habis. Yang versi bahasa Indonesia, sebagian, sekitar 500 buku saya bagi-bagikan gratis, sebagian lagi dijual ditoko buku. Yang bahasa Inggris dijual," katanya sembari mengatakan, tidak mungkin lagi menarik buku dari peredaran. Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku setebal 182 halaman itu.

Apapun komentar pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah membikin sejarah dunia. Gara-gara protesnya terhadap perlakuan diskriminatif soal flu burung, AS dan WHO sampai-sampai mengubah kebijakan fundamentalnya yang sudah dipakai selama 50 tahun. Perlawanan Fadilah dimulai sejak korban tewas flu burung mulai terjadi di Indonesia pada 2005. Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak
yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung.

"Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu transparansi, " tulis The Economist. The Economist, seperti ditulis Asro Kamal Rokan di Republika, edisi pekan lalu, mengurai, Fadilah mulai curiga saat Indonesia juga terkena endemik flu burung 2005 silam. Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada.
Namun aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung.

Di tengah upayanya mencari obat flu burung, dengan alasan penentuan diagnosis, WHO melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) di Hongkong memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen. Mulanya, perintah itu diikuti Fadilah. Namun, ia juga meminta laboratorium litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama.
Tapi, mengapa WHO CC meminta sampel dikirim ke Hongkong? Fadilah merasa ada suatu yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam. Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO CC untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat bibit virus.

Dari bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari sinilah, ia menemukan fakta, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusaha an besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung. Mereka mengambilnya dari Vietnam, negara korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia tanpa izin. Tanpa kompensasi. Fadilah marah. Ia merasa
kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO.
Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin.

Di saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC. Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS. Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui. Los Alamos ternyata berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu, untuk vaksin atau senjata kimia? Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu. Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, memujinya.

Majalah The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi. Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO CC agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon. Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara. Ia juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama
mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia. Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO di akhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan.

source : tribun-timur.com/view.php?id=6514

1 comment:

Anonymous said...

http://bimotejo.blogspot.com/2008/04/kalau-flu-burung-mengundang-kisruh.html

Apa yang menjadi pokok masalah gonjang-ganjing antara Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dengan Badan Kesehatan Dunia WHO?

Asal-muasalnya adalah kewajiban Indonesia untuk mengirim sampel virus H5N1 dari penderita avian flu kepada WHO melalui mekanisme Global Influenza Surveillance Network (GISN). Tujuannya adalah supaya pola penyebaran avian flu bisa dipantau dengan seksama dan selanjutnya langkah pencegahan yang tepat bisa disusun.

Sampel yang dikirim oleh Indonesia kemudian dibuat peta genetiknya oleh WHO atau oleh institut riset lain yang ditunjuk oleh WHO. Berdasarkan peta genetik ini bisa diprediksi seberapa jauh virus H5N1 sudah bermutasi. Pengawasan pola mutasi ini penting, karena virus Spanish flu yang memakan korban 20-40 juta orang di tahun 1918 juga bermutasi dari virus avian flu.

Nah, di sini masalahnya. Sampel virus H5N1 yang diserahkan kepada WHO itu kemudian di-forward kepada perusahaan-perusahaan farmasi besar dunia untuk dibuatkan vaksin. Vaksin ini kemudian diborong oleh negara-negara maju yang ketakutan dengan wabah flu burung, selain juga ditawarkan ke negara-negara berkembang dengan harga yang tentunya tidak murah.

Ini yang membuat Dr. Supari mencak-mencak. Beliau menganggap perusahaan farmasi tersebut, atas bantuan WHO, telah mencuri kekayaan alam Indonesia untuk meraup keuntungan ekonomi dari hasil penjualan dan paten produk vaksin. Menteri Supari menuntut perusahaan farmasi dunia yang diuntungkan oleh virus H5N1 dari Indonesia untuk memberi kompensasi material (baca: duit) kepada bangsa Indonesia. Jika tidak, maka Indonesia akan menghentikan pengiriman sampel virus avian flu seperti yang sempat dilakukan beberapa waktu lalu.

Bola panas yang dilempar oleh Menteri Supari menjadi liar. Menohok sana-sini dan--menurut pandangan saya--sudah semakin jauh dari substansinya. Tiba-tiba muncul isu senjata biologis. Tiba-tiba muncul gugatan terhadap laboratorium NAMRU-2. Hal-hal ini justru tidak ada kaitannya dengan isu pengiriman sampel virus avian flu dan soal harga jual vaksin.

Sebagai seorang yang bekerja dalam bidang life sciences, saya punya kewajiban untuk memberi pandangan-pandangan dari sisi keilmuan. Saya kira perlu ada suara lain yang bisa menyeimbangkan perspektif yang dianut publik Indonesia yang--menurut saya--sudah terdominasi oleh emosi ketimbang rasio.

Berikut ini beberapa point yang menurut saya wajib diluruskan:

1. Menteri Supari menuduh negara-negara maju telah merampas hak milik atas sampel virus H5N1 yang dikirimkan Indonesia. Hal ini keliru.

Sampel virus yang dikirim ke WHO bukan saja digunakan untuk memantau pola mutasi virus, tetapi juga digunakan untuk membuat vaksin. Yang mempunyai kemampuan membuat vaksin adalah industri farmasi (lembaga profit), bukan universitas yang merupakan lembaga non-profit.

WHO tidak punya hak kepemilikan terhadap virus yang dikirim oleh Indonesia. Yang bisa diklaim hak kepemilikannya adalah vaksin yang dihasilkan dari virus tersebut. Hal ini karena industri farmasi harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menghasilkan vaksin.

Juga, yang bisa diklaim hak kepemilikannya adalah seed virus, yaitu bibit virus yang digunakan untuk membuat vaksin. Seed virus adalah virus asli yang sudah dilemahkan sehingga tidak berbahaya (low pathogenic). Teknologi reverse genetics untuk membuat seed virus telah dipatenkan oleh perusahaan MedImmune, sehingga setiap pihak yang ingin membuat vaksin menggunakan seed virus tersebut harus membayar kompensasi kepada MedImmune.

Jadi, apa yang bisa dipatenkan dan apa saja yang dilarang dipatenkan?

2. Virus H5N1 tidak bisa dipatenkan. Baca juga di sini, dan sini. Produk alam yang tidak dimodifikasi oleh tangan manusia sama sekali tidak boleh dipatenkan. Adakah orang yang mempatenkan air? Adakah orang yang mempatenkan udara? Adakah orang yang mempatenkan api? Tidak ada dan tidak boleh. Demikian juga dengan virus H5N1 yang tidak bisa dipatenkan .

Yang bisa dipatenkan adalah hasil rekayasa dari virus asli, misalnya virus-like particle, modified virus, seed virus, dan juga vaksin. Sama halnya seperti air yang tidak bisa dipatenkan, tapi air mineral Aqua bisa dipatenkan.

3. Karena virus H5N1 tidak bisa dipatenkan, siapapun bisa memanfaatkannya untuk membuat vaksin. Termasuk Indonesia. Kalaupun Indonesia harus membayar kompensasi kepada MedImmune untuk menggunakan seed virus yang dihasilkan menggunakan teknologi mereka, hal ini adalah bagian dari mekanisme paten yang tidak (belum) bisa diganggu gugat.

Tetapi bukan berarti tidak ada jalan keluar. Teknologi reverse genetics bukan satu-satunya alternatif. Dr. Andi Utama, pakar virologi Indonesia, mengusulkan agar Indonesia kembali melirik teknologi lama tetapi terbukti ampuh untuk menghasilkan vaksin. Teknologi yang diusulkan oleh Dr. Utama adalah teknologi yang digunakan oleh Albert Sabin puluhan tahun lalu untuk menghasilkan vaksin polio. Teknologi itu masih efektif dan masih digunakan sampai sekarang.

Apa pelajaran yang bisa ditarik dari kisruh soal flu burung ini?

1. Walaupun Indonesia dikaruniai kekayaan alam yang melimpah (termasuk virus), ketertinggalan dalam penguasaan teknologi membuat Indonesia kalah bertarung dengan negara maju yang jauh menguasai teknologi.

Mudah dibuktikan bahwa negara-negara yang kaya sumber daya alamnya tetapi miskin teknologinya, seperti Indonesia, Brunei, atau negara-negara Arab, sama sekali tidak berdaya untuk mandiri dan hanya menjadi "pak angguk" negara-negara maju yang bahkan lebih miskin sumber daya alamnya.

2. Indonesia harus bisa memproduksi vaksin avian flu sendiri dan tidak boleh mengharapkan negara lain memproduksi vaksin untuk Indonesia. Dalam skenario terburuk, ketika avian flu menjadi pandemi, negara-negara maju pasti tidak akan menyerahkan stok vaksin mereka kepada Indonesia.

Indonesia sudah memiliki PT BioFarma yang punya kemampuan memproduksi vaksin secara masal. Indonesia juga memiliki banyak pakar virologi hasil didikan universitas-universitas ternama dunia. Bahkan, lembaga IHVCB-UI sudah memiliki laboratorium berkelas BSL-3 yang layak untuk memproses virus patogenik seperti H5N1. Hanya satu yang kurang: kemauan pemerintah Indonesia.

3. Mekanisme paten di satu sisi mampu merangsang inovasi dalam bidang teknologi dengan memberi kompensasi kepada inovator. Di lain pihak, mekanisme paten menempatkan negara miskin sebagai pihak yang tereksploitasi. Beberapa pihak menawarkan mekanisme reward kepada inovator selain hak paten, misalnya Joseph Stiglitz mengusulkan sistem "hadiah" yang dirasa lebih baik ketimbang sistem paten.

Saya tahu industri farmasi di negara maju memang serakah. Banyak buktinya. Tetapi di lain pihak, merekalah yang berhasil mengembangkan obat-obatan modern yang kita nikmati saat ini. Mekanisme paten adalah salah satu motivasi mereka untuk tetap melakukan riset dan pengembangan obat. This is Capitalism 101, my friend...

Saya perkirakan sistem paten tidak akan berakhir paling tidak dalam 50 tahun ke depan. Untuk bisa bertahan menghadapi sistem paten ini, Indonesia perlu berswasembada teknologi. Indonesia perlu mengembangkan sendiri teknologi-teknologi terkini untuk kemaslahatan rakyat, sehingga kita tidak perlu lagi membayar paten kepada negara-negara maju. Dan ini perlu kerja keras, bukan omong besar dan main ancam seperti yang ditunjukkan oleh ibu menteri kita itu.