Sabtu, 1 Maret 2008. Waktu tepat menunjukkan angka 13.15. Selepas sholat dhuhur di Musholla Surabaya Town Square, aku mulai beranjak menuju kawasan perbelanjaan baru di Surabaya itu. Terletak di Jl. Adityawarman, Sutos memang cukup menarik perhatian dengan permainan warna gedung yang cukup mencolok.
Segera ku telepon Dena alias MbokDe, salah satu geng Wisata Surabaya(WS). Ternyata temen-temen WS sudah pada ngumpul di J-Co, warung kopi. Tampak beberapa rekan yang sudah pernah bertemu sebelumnya seperti Gina, Gita, Tita, MbokDe sendiri, Astri. Serta wajah-wajah baru geng WS lainnya. Di situ kami ngobrol-ngobrol tentang rencana Goto Trowulan yang sudah beberapa kali tertunda.
Tanpa terasa, jarum panjang sudah mendekati angka 12, sementara jarum pendeknya di angka 3. Itu tandanya kami harus segera siap-siap menuju ke Cinema XXI. Memang saat itu kami berkumpul untuk Nonton Bareng (NoBar) film religi terbaru garapan kang Hanung yang berjudul Ayat-Ayat Cinta. Film yang ternyata merupakan obsesi Kang Hanung atas saran dan keinginan ibundanya untuk membuat film tentang Islam.
Tidak semua geng WS yang hadir menonton film yang seharusnya tayang Januari 2008 namun molor hingga Maret itu. Alasannya karena sudah nonton film tersebut sebelumnya.
Ayat-Ayat Cinta, sebuah film adaptasi novel Habiburrahman el Shirazy a.k.a Kang Abik. Salah satu novel best seller. Dibintangi Fedi Nuril, Carissa Putri, dan Ryanti, serta beberapa artis papan atas lainnya. Proses produksi yang penuh dengan kendala, pada akhirnya berhasil menyuguhkan AAC di tengah masyarakat.
AAC sebagaimana film adaptasi novel lainnya, memang secara kualitas kurang menarik. Banyak adegan-adegan yang dihilangkan dan diganti dengan adegan yang lebih pendek. Bagi yang sudah pernah membaca novelnya, mungkin masih bisa mengikuti jalan cerita. Entah bagaimana dengan yang belum pernah membacanya. Bila AAC dianggap sebagai cerita cinta, juga kurang tepat rasanya. Itulah mengapa AAC the movie juga kurang bisa mengangkat roman cinta tersebut. Lha wong memang pada dasarnya cerita cinta pada novel AAC sendiri bukanlah menu utama yang disuguhkan.
Namun ada "hal lain" yang membuat air mataku mengalir tanpa bisa dibendung. "Hal lain" yang juga menyebabkan air mataku mengalir ketika membaca novel AAC. Khususnya pada bagian akhir. Tentu saja "hal lain" itu bukan karena cerita cinta yang diangkat. Kalau sekedar cerita cinta seperti itu sih yang lebih memeras air mata sudah sering aku nikmati, tapi kenyataannya film sekelas itu saja tidak sampai membuat air mataku berlelehan di pipi.
Kata mbokDe, Salim GEMBENG (cengeng, red). Hehehe .....
Bagaimana lagi. AAC berkisah tentang sesuatu yang sering kali aku susah menjalaninya. AAC berkisah tentang IKHLAS. Berkisah tentang Kuasa Tuhan atas segala hal. Berkisah tentang hikmah kehidupan. Hati siapa yang tidak bergetar. Getaran yang bahkan mampu mencairkan air mata dan akhirnya harus meleleh di pipi.
Khususnya pada saat Maria sedang menjalani detik-detik terakhir kehidupannya. Memang di AAC the Movie tidak menggambarkannya secara jelas. Tapi ingatanku langsung melayang ke bab terakhir novel AAC. Nyanyian dari Surga. Tergambar jelas apa yang dialami oleh Maria tatkala dia sedang kesulitan memasuki pintu surga. Ya Allah, bahkan ketika sedang menuliskan paragrap ini pun, mataku langsung berkaca-kaca.
Subhanallah. Karya yang indah Kang Abik.
Subhanallah. Usaha yang hebat Kang Hanung.
Ayat-Ayat Cinta memang benar-benar kisah yang membangun jiwa.
Segera ku telepon Dena alias MbokDe, salah satu geng Wisata Surabaya(WS). Ternyata temen-temen WS sudah pada ngumpul di J-Co, warung kopi. Tampak beberapa rekan yang sudah pernah bertemu sebelumnya seperti Gina, Gita, Tita, MbokDe sendiri, Astri. Serta wajah-wajah baru geng WS lainnya. Di situ kami ngobrol-ngobrol tentang rencana Goto Trowulan yang sudah beberapa kali tertunda.
Tanpa terasa, jarum panjang sudah mendekati angka 12, sementara jarum pendeknya di angka 3. Itu tandanya kami harus segera siap-siap menuju ke Cinema XXI. Memang saat itu kami berkumpul untuk Nonton Bareng (NoBar) film religi terbaru garapan kang Hanung yang berjudul Ayat-Ayat Cinta. Film yang ternyata merupakan obsesi Kang Hanung atas saran dan keinginan ibundanya untuk membuat film tentang Islam.
Tidak semua geng WS yang hadir menonton film yang seharusnya tayang Januari 2008 namun molor hingga Maret itu. Alasannya karena sudah nonton film tersebut sebelumnya.
Ayat-Ayat Cinta, sebuah film adaptasi novel Habiburrahman el Shirazy a.k.a Kang Abik. Salah satu novel best seller. Dibintangi Fedi Nuril, Carissa Putri, dan Ryanti, serta beberapa artis papan atas lainnya. Proses produksi yang penuh dengan kendala, pada akhirnya berhasil menyuguhkan AAC di tengah masyarakat.
AAC sebagaimana film adaptasi novel lainnya, memang secara kualitas kurang menarik. Banyak adegan-adegan yang dihilangkan dan diganti dengan adegan yang lebih pendek. Bagi yang sudah pernah membaca novelnya, mungkin masih bisa mengikuti jalan cerita. Entah bagaimana dengan yang belum pernah membacanya. Bila AAC dianggap sebagai cerita cinta, juga kurang tepat rasanya. Itulah mengapa AAC the movie juga kurang bisa mengangkat roman cinta tersebut. Lha wong memang pada dasarnya cerita cinta pada novel AAC sendiri bukanlah menu utama yang disuguhkan.
Namun ada "hal lain" yang membuat air mataku mengalir tanpa bisa dibendung. "Hal lain" yang juga menyebabkan air mataku mengalir ketika membaca novel AAC. Khususnya pada bagian akhir. Tentu saja "hal lain" itu bukan karena cerita cinta yang diangkat. Kalau sekedar cerita cinta seperti itu sih yang lebih memeras air mata sudah sering aku nikmati, tapi kenyataannya film sekelas itu saja tidak sampai membuat air mataku berlelehan di pipi.
Kata mbokDe, Salim GEMBENG (cengeng, red). Hehehe .....
Bagaimana lagi. AAC berkisah tentang sesuatu yang sering kali aku susah menjalaninya. AAC berkisah tentang IKHLAS. Berkisah tentang Kuasa Tuhan atas segala hal. Berkisah tentang hikmah kehidupan. Hati siapa yang tidak bergetar. Getaran yang bahkan mampu mencairkan air mata dan akhirnya harus meleleh di pipi.
Khususnya pada saat Maria sedang menjalani detik-detik terakhir kehidupannya. Memang di AAC the Movie tidak menggambarkannya secara jelas. Tapi ingatanku langsung melayang ke bab terakhir novel AAC. Nyanyian dari Surga. Tergambar jelas apa yang dialami oleh Maria tatkala dia sedang kesulitan memasuki pintu surga. Ya Allah, bahkan ketika sedang menuliskan paragrap ini pun, mataku langsung berkaca-kaca.
Subhanallah. Karya yang indah Kang Abik.
Subhanallah. Usaha yang hebat Kang Hanung.
Ayat-Ayat Cinta memang benar-benar kisah yang membangun jiwa.
3 comments:
Gak nyangka lho mas Salim nangis pas nonton AAC, sebelumnya liat sosok mas Salim di J.Co begitu gahar :D
Btw, masih ingat saya ga ? Aku yg pake baju ungu :)
jadi intisari postingan ini adalah: salim menagis bukan karena cengeng tapi karena terharu :D. podo mas aku yo terharu kekekeke, cuma rada kaget ae, lanang sing lunguh sebelahku kok tiba2 sakit pilek kekekekeke piiiissssss
oot: maaf no tel sampeyan tak kasikkan temenku yg jualan pulsa, ben dadi downline jenengan. gak papa ya??
Cak Salim, kok aku moco novele dhisik ya ndak pake haru-biru segala ya. aku malah cuman senyam-senyum Lim. Karena menurutku AAC ini masih 'India banget ' gitu loh.. Ato krn hatiku tidak selembut dirimu Lim :D.
Tanpa mengurangi hormat pada penulis & penggemarnya, aku memang tidak melihat kekuatan AAC di situ, do'i punya keunggulan krn bisa mengabung kisah cinta dengan ajaran agama (baca: fiqh), tanpa kesan menggurui dan menghakimi..
itu azza..
btw, jadi aku belum tertarik nonton movie nya Lim, ya krn kwatir 'India bang..' itu :)
Post a Comment