Digusur lagi, balik lagi. Digusur lagi, balik lagi. Fenomena ini layak disandangkan pada para pedagang kaki lima. Namanya saja kakinya lima. Tentu saja cepat hilang cepat pula kembalinya.
Walau sering menerima pandangan sinis dari berbagai kalangan, eksistensi pedagang kaki lima bukannya makin hilang, namun justru makin menjamur. Di mana ada area yang strategis, disitulah pedagang kaki lima mulai menggelar dagangannya.
Mungkin ini adalah imbas dari carut marutnya penanganan perekonomian bangsa. Pemerintah tidak sanggup menyediakan tempat dan didukung dengan aturan yang tegas tapi tidak memberatkan.
Biasanya jika ada pengalokasian pedagang kaki lima pada area tertentu, selalu diselingi dengan ancaman biaya yang sering kali tidak terjangkau. Akhirnya solusi yang diambil adalah jalan pintas. Mencari tempat untuk berdagang secara ilegal.
Sayangnya mereka sering kali tidak mau menyadari bahwa keberadaannya adalah ilegal. Sehingga ketika tidak ada petugas trantib yang bertindak, perlahan namun pasti mereka akan bermetamorfosis dari sekedar menggelar tikar hingga menancapkan tiang pancang bangunan permanen.
Lucunya lagi ketika ada penggusuran, para pedagang yang telah membuat bangunan permanen dan semi permanen merasa terdzolimi serta berusaha mempertahankan "lahannya". Lahan yang mana ? Bukankah lahan yang mereka tempati selama ini adalah ilegal.
Tentu bagi mereka itu bukan sekedar lahan ilegal. Mereka secara rutin membayar retribusi yang sering kali mereka anggap sebagai uang sewa lahan. Bagi yang mengerti tentang undang-undang retribusi tentu tahu betul posisi hukum dari retribusi.
Selain retribusi, mereka juga harus membayar ini itu, atau lebih lazim disebut uang keamanan. Belum lagi jika ada pungli dari oknum-oknum tertentu.
Jadi wajar saja jika proses penggusuran selalu dibarengi dengan isak tangis, teriakan amarah, ketegangan, dan lain sebagainya. Harusnya pemerintah mampu mengelola dan memfasilitasi mereka, atau setidaknya mampu mengawasi secara benar proses perkembangan pedagang kaki lima tersebut. Batas dari jalan raya harus ditegakkan, jangan sampai jalan raya terganggu oleh keberadaannya. Bangunan semi permanen dan permanen harus diharamkan. Serta kebersihan harus diprioritaskan. Sambil perlahan-lahan memikirkan solusi terbaik guna mengatasi dampak yang diakibatkan oleh keberadaan pedagang kaki lima.
Walau sering menerima pandangan sinis dari berbagai kalangan, eksistensi pedagang kaki lima bukannya makin hilang, namun justru makin menjamur. Di mana ada area yang strategis, disitulah pedagang kaki lima mulai menggelar dagangannya.
Mungkin ini adalah imbas dari carut marutnya penanganan perekonomian bangsa. Pemerintah tidak sanggup menyediakan tempat dan didukung dengan aturan yang tegas tapi tidak memberatkan.
Biasanya jika ada pengalokasian pedagang kaki lima pada area tertentu, selalu diselingi dengan ancaman biaya yang sering kali tidak terjangkau. Akhirnya solusi yang diambil adalah jalan pintas. Mencari tempat untuk berdagang secara ilegal.
Sayangnya mereka sering kali tidak mau menyadari bahwa keberadaannya adalah ilegal. Sehingga ketika tidak ada petugas trantib yang bertindak, perlahan namun pasti mereka akan bermetamorfosis dari sekedar menggelar tikar hingga menancapkan tiang pancang bangunan permanen.
Lucunya lagi ketika ada penggusuran, para pedagang yang telah membuat bangunan permanen dan semi permanen merasa terdzolimi serta berusaha mempertahankan "lahannya". Lahan yang mana ? Bukankah lahan yang mereka tempati selama ini adalah ilegal.
Tentu bagi mereka itu bukan sekedar lahan ilegal. Mereka secara rutin membayar retribusi yang sering kali mereka anggap sebagai uang sewa lahan. Bagi yang mengerti tentang undang-undang retribusi tentu tahu betul posisi hukum dari retribusi.
Selain retribusi, mereka juga harus membayar ini itu, atau lebih lazim disebut uang keamanan. Belum lagi jika ada pungli dari oknum-oknum tertentu.
Jadi wajar saja jika proses penggusuran selalu dibarengi dengan isak tangis, teriakan amarah, ketegangan, dan lain sebagainya. Harusnya pemerintah mampu mengelola dan memfasilitasi mereka, atau setidaknya mampu mengawasi secara benar proses perkembangan pedagang kaki lima tersebut. Batas dari jalan raya harus ditegakkan, jangan sampai jalan raya terganggu oleh keberadaannya. Bangunan semi permanen dan permanen harus diharamkan. Serta kebersihan harus diprioritaskan. Sambil perlahan-lahan memikirkan solusi terbaik guna mengatasi dampak yang diakibatkan oleh keberadaan pedagang kaki lima.
4 comments:
waduh tiap hari lihat teve tentang ini, dan tiap hari cuma bisa melongo sambil mikir andai saya adalah pedagang kaki lima apa yang mesti saya lakukan? Soalnya kalo terlalu kenceng bisa-bisa dicap pemberontak tak tahu adat, so what they should do?
Entahlah
who are fucking you?
Bitch, I alreade confuse with your fucking blog.who do u think u r, son of a bitch
jangan dihiraukan komentar2 tdk cerdas dan miskin kosa kata
Post a Comment