Monday, September 24, 2007

Jujuran, Budaya Pernikahan Yang Kurang Islami

Bagi warga Nias, Banjar, atau Bugis, tentu sangat mengenal istilah jujuran. Sebagian kalangan menyebutkan ini sebagai mahar. Namun sebagian kalangan menyebutkan juga sebagai hantaran/seserahan. Sesuatu yang diberikan oleh pihak calon pengantin laki-laki ke pihak calon pengantin perempuan.

Jujuran, lazimnya berupa uang dengan nilai tertentu yang disepakati antara pihak laki-laki dan perempuan. Biasa disebut juga dengan uang panaik. Uang yang akan digunakan sebagai ongkos pesta pernikahan dan untuk modal awal setelah menikah.

Pada kenyataannya, semakin cantik si gadis, biasanya uang jujurannya juga semakin mahal. Atau semakin tinggi tingkat derajat keluarga si gadis di mata masyarakat, maka semakin mahal pula jujurannya. Justru masyarakat setempat akan memandang aneh jika ada gadis yang cantik atau berasal dari golongan kaum berada, namun uang jujurannya murah.

Akhirnya, menghadapi hal seperti ini, banyak sekali calon laki-laki harus mundur merelakan gadis yang dicintainya. Banyak juga kejadian kawin lari karena pasangan itu tidak rela untuk berpisah. Adakalanya juga pihak wanita memberikan uang secara diam-diam ke pihak laki-laki untuk digunakan sebagai jujuran. Sungguh suatu tradisi yang menyulitkan.

Bagaimana menurut Islam ?

Sebelum saya ingin menyampaikan pembahasan dari sudut pandang saya, terlebih dahulu saya ingin menyampaikan alasan mengapa harus dilihat dari sudut pandang Islam.

Di kalangan masyarakat Nias, Banjar, atau Bugis, diantaranya memeluk agama Islam. Bahkan masyarakat Banjar terkenal dengan Islam yang cukup kental. Ironis memang jika budaya jujuran tetap dipertahankan di sana.

Dalam Islam, laki-laki yang akan menikahi wanita, haruslah memberikan mahar. Mahar adalah pemberian dari laki-laki ke wanita untuk menikahinya. Bentuknya bebas dan tidak ada batasan. Bahkan menurut sejarah, Fatimah binti Rasulullah saja maharnya berupa Baju Besi Ali Karomallaahuwajhah. Karena Ali memang tidak memiliki yang lainnya. Ada juga yang hanya berupa cincin besi. Bahkan ada yang hanya berupa dibacakan surat dalam AlQuran.

Nabi sendiri dalam hadits-haditsnya, sebagai berikut :

Sesungguhnya wanita yang paling besar berkahnya ialah yang paling bagus wajahnya dan paling sedikit maskawinnya. (Abu Umar, At-Tauqani dalam kitab mu’asyarah al-ahliin).

Sesungguhnya diantara berkah wanita adalah kemudahan meminangnya, kemudahan maskawinnya dan kemudahan rahimnya. (Ahmad)

Sebaik-baik wanita adalah yang bagus wajahnya dan murah maskawinnya. (Ibnu Hibban)

Sebagai umat Islam, kita diperbolehkan menjaga tradisi. Sebagai bagian dari usaha melestarikan budaya bangsa. Sebagaimana hal yang dilakukan oleh Sunan dikenal dengan Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga. Juga memanfaatkan tradisi dalam menjalankan dakwahnya. Tentunya setelah disesuaikan dengan ajaran agama Islam.

Budaya jujuran pada kenyataannya seringkali mempersulit jalan menuju pernikahan. Sementara Islam justru menganjurkan untuk mempermudah. Sebagaimana yang diriwayatkan
Abu Daud dan At-Tirmidzi :
Dan apabila datang kepadamu orang yang kamu rela akan agama dan amanahnya, maka nikahkanlah ia, jika tidak kamu lakukan, maka akan terjadi bencana di bumi dan kerusakan yang besar.

Sebagai umat Islam, sudah sewajarnya kita lebih mengutamakan apa yang diajarkan Rasulullah daripada berusaha mempertahankan adat dan budaya. Apalagi jika alasan dalam mempertahankan adat dan budaya tersebut hanya dikarenakan faktor gengsi atau karena takut malu di mata masyarakat. Wallaahu'alam.

6 comments:

Anonymous said...

Mas, stau saya hantaran dan mahar itu berbeda. Prinsip diberikan mahar dari pihak laki2 ke pihak perempuan adalah untuk menjamin kehidupan pihak istri apabila ditinggal mati suaminya. Sedangkan hantaran atau seserahan sifatnya adalah tradisional dan tidak wajib menurut islam. Bentuk dan besar nilai dari mahar memang tidak ditentukan namun wajib ada, mahar sendiri akan menjadi hak milik istri sepenuhnya dan tidak dapat diganggu-gugat oleh suami karena prinsip yg saya sebutkan tadi diatas. Sedangkan 'seserahan' karena sifatnya tradisional kadangkala justru mempersulit seseorang untuk menikah karena pihak keluarga wanita terkadang menetapkan suatu batas minimum yang tinggi.

Fitri said...

Assalamualaikum...
Saya dari suku banjar, emang sih jujuran itu menurut pengakuan beberapa pria mang sedikit memberatkan. Dan pada kenyataannya para orangtua "menghukumi" jujuran ini mendekatai "wajib" malah tak jarang wanitanya sendiri juga begitu. Ada yang tidak mau menikah atau menikahkan anaknya kalau jujurannya tidak berupa ini atau sekian juta rupiah.
Saya sendiri termasuk belum menikah, bingung bagaimana nanti menjelaskan ke ortu biar gak pakai jujuran.Hmmm

arif rakhman said...

@ all:
kalo diliat dari sisi positifnya, itu mungkin untuk mengetahui sejauh mana pria sebagai suami berkomitmen untuk menyejahterakan rumah tangganya. rasanya koq ya miris juga pas jujuran yang segitu tingginya bisa dipenuhi tetapi belakangannya malah tidak bertanggung jawab pada keluarganya. ah dilematis sekali donk kalo gitu.

Unknown said...

Yaah intinya kembali Ke diri masing2 aja lah, yg penting ngga lari dari pandangan alqur'an dan hadits sebagai Sumber hukumnya, memang dalam kalangan tertentu masih alami sekali adat jujuran dan juga masih diterapkan, tpi tidak terlepas dri itu semua itu, akan jauh lebih baik jika ada kajian tertentu yang memang menangani hal ini, terkait dibolehkan atau tidaknya adat jujuran ini. Wallahu a'lam

Unknown said...

Saya sendiri ja binggung..jujuran yg telah di tetapkan jumlahnya oleh pihak keluarga wanita.dan memang begitu la adat..saya mau bertanya kutan mana adat atau agama??kalau kita telah memenuhi anjuran agama berdosakah kita harus menolak adat yg katagorinya mebebani untuk terjadinya lamaran.?jujuran mestika harus dalam islam??

Unknown said...

Saya sendiri ja binggung..jujuran yg telah di tetapkan jumlahnya oleh pihak keluarga wanita.dan memang begitu la adat..saya mau bertanya kutan mana adat atau agama??kalau kita telah memenuhi anjuran agama berdosakah kita harus menolak adat yg katagorinya mebebani untuk terjadinya lamaran.?jujuran mestika harus dalam islam??