Tuesday, November 21, 2006

Kemacetan di A.Yani (Surabaya), Siapa yang Bisa Disalahkan ?

Semua yang pernah ke Surabaya, tentu tahu di mana jalan Ahmad Yani yang terkenal itu berada. Walau tidak tahu persis, atau tidak tahu melalui jalan mana untuk bisa menemukan Ahmad Yani (jalan, red), namun setidaknya tentu tahu di sebelah mana jalan tersebut berada.

Jalan Ahmad Yani membentang panjang dari selatan Surabaya ke arah pusat kota. Dari bunderan Waru hingga Kebun Binatang Surabaya (KBS) bertemu dengan Raya Darmo. Sebuah jalan yang menjadi penghubung antara Surabaya dengan kota-kota yang berada di sebelah selatan Surabaya, seperti Sidoarjo, Mojokerto, dan sebagainya.

Sebagai sebuah jalan yang sedemikian vital, tentu intensitas kendaraan yang melaju melintasinya sangat tinggi. Khususnya jika pagi hari, ketika jam masuk kerja, atau saat jam pulang kerja di sore hari.

Sebagai jalan sepenting itu, sayangnya Ahmad Yani hanya berbentuk 2 jalan kembar yang masing-masing lajurnya hanya terdiri dari 4 lajur. Sementara di sebelah timurnya dibatasi dengan rel kereta sepanjang jalan tersebut. Bis, mobil, sepeda motor, maupun angkot semua tumpah ruah bercampur menjadi satu.

Usaha kanalisasi sudah diterapkan, hadiah juga sudah diberikan. Bahkan hingga rekayasa counter flow juga pernah direalisasikan. Namun tetap saja tidak mampu membuat Ahmad Yani menjadi jalan yang menyenangkan.

Walaupun demikian, dalam kemakluman tentang ruwetnya jalan Ahmad Yani, ada satu hal yang seharusnya bisa dibenahi secara tegas, sehingga bisa mengurangi beban kemacetan Ahmad Yani. Dan saya yakin semua juga sudah tahu hal tersebut. Namun apalah artinya jika hanya sekedar tahu, tanpa dibarengi dengan usaha optimal, khususnya dari pihak-pihak aparat yang berwenang.

Hal tersebut tidak lain adalah berubahnya rambu larangan berhenti menjadi hiasan tepi jalan di sepanjang jalan Ahmad Yani. Dan tokoh utama yang menyebabkan hal itu terjadi adalah angkutan kota dan bis. Moda transportasi umum inilah yang saya tuduh sebagai penyebab utama kemacetan di Ahmad Yani. Tuduhan yang menempati urutan paling tinggi di atas pengendara sepeda motor yang bermain akrobat di tempat yang salah dan pemilik mobil yang membiarkan mobilnya hanya terisi 1 atau 2 orang saja.

Angkutan umum dan bis. Dengan tanpa jalur khusus yang diberikan untuk mereka. Maka mereka merasa bebas untuk menjalankan kendaraannya. Ngebut kemudian berhenti mendadak. Berhenti di tengah-tengah jalan. Dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri. Benar-benar sebuah ke-ngawur-an yang harus segera dihentikan secara tegas. Sudah waktunya slogan "Jaga jarak, kami sering berhenti tiba-tiba" tidak dibiarkan merajalela. Sudah waktunya sopir-sopir ngawur itu ditindak dengan semestinya. Sesuai dengan undang-undang yang dirancang dengan uang milyaran.

Sebagai paket penunjang penyulut kegemaran berhenti di sepanjang jalan Ahmad Yani adalah penumpang pengguna jasa moda transportasi masal tersebut yang enggan untuk meluangkan sedikit tenaga untuk menuju pemberhentian terdekat. Selain itu upaya dari pemerintah kota untuk menyediakan sarana yang layak untuk pemberhentian mutlak dibutuhkan. Entah bagaimana dan di mana harus membangunnya. Para pejabat yang pintar-pintar di lingkungan Pemda harusnya mampu mencarikan solusinya.

Yang saya bingungkan adalah mengapa banyaknya petugas polisi jalan raya yang sedang berada di sepanjang jalan tersebut tidak memiliki keberanian untuk tidak memberi kesempatan bis dan angkutan umum berhenti walau hanya sebentar, walau dengan dalih kasihan dengan penumpang. Bagi saya, aturan ya aturan. Tentunya Dinas Perhubungan dalam memasang rambu larangan berhenti di sana juga tidak hanya sekedar iseng-iseng saja. Penerapan aturan haruslah tanpa kompromi. Tanpa terkecuali. Tanpa pandang bulu. Tidak perduli kendaraan pribadi, sepeda motor, atau angkutan umum sekalipun. Jika hal ini terlalu berlarut-larut dibiarkan, akhirnya justru hanya semakin menuduh ada apa-apa dibalik kenyataan ini. Mungkin ada oknum-oknum yang berbagi kue haram demi langgengnya ijin berhenti di jalan Ahmad Yani. Jika perlu berhenti tepat di bawah rampu-rambu larangan berhenti tersebut.

No comments: