Ramadhan 1427 H, sebentar lagi akan segera kutemui. Walau bukan Ramadhan pertama yang kujalani setelah berstatus suami, namun ini adalah merupakan Ramadhan pertama yang akan kulalui bersama-sama dengan istriku. Memang demikian adanya. Tidak lain karena Ramadhan tahun lalu kujalani di tanah seberang. Sangat jauh dari kota kelahiranku. Otomatis sangat jauh pula dari istriku.
Kala itu, Ramadhan 1426H, seminggu sebelum Ramadhan berlangsung, untuk kepentingan sebuah pekerjaan team kami berangkat ke Sorong, Papua. Mungkin aku termasuk orang kebanyakan yang ketika mendengar kata Papua, dulu bernama Irian Jaya, langsung terbayang orang-orang berkulit hitam, berbadan kekar, rambut yang mlungker-mlungker, dan (maaf) bau badan cukup khas.
Perjalanan dimulai pada awal Oktober 2005. Rombongan berkumpul di bandara Juanda. Penerbangan menggunakan pesawat Merpati. Dengan rute Surabaya - Makasar - Manado - Sorong. Perjalanan Surabaya ke Makasar kami tempuh sekitar 1 setengah jam.
Ketika transit di Makasar, kami sempat pula dikejutkan dengan berita bom Bali II di Jimbaran, Bali. Setelah transit sebentar, hanya sekitar setengah jam, kami melanjutkan perjalanan ke Manado. Transit di Manado ternyata cukup lama. Mulai 11 WITA hingga pukul 4 WITA keesokan harinya. Dari Manado, perjalanan berlanjut ke Sorong. Sampai di Sorong sekitar pukul 6 WIT. Mungkin pada saat yang sama, orang-orang di Surabaya masih baru saja menggeliat bangun dari tidurnya, untuk menunaikan ibadah Sholat Shubuh. Memang, Sorong yang menggunakan WIT, memiliki selisih waktu dengan Surabaya yang menggunakan WIB selama 2 jam.
Heran bercampur kaget, begitu pesawat mulai landing di bandara Sorong. Kalo tidak salah nama bandara tersebut adalah Eduard Osok. Atau ... entahlah, aku sudah lupa cara mengeja nama bandara tersebut. Yang jelas, aku baru tahu jika ada bandara yang sebagian bangunannya terbuat dari papan. Sangat berbeda dengan bandara di Jakarta, Surabaya, Jogja, Denpasar, Makasar, Manado, atau Sepinggan. Benar-benar tidak seperti sebuah bandara.
Begitu tiba di bandara, kami langsung dijemput oleh tim kami yang lain, yang telah lebih dahulu merasakan Sorong. Singkat cerita kami semua menuju ke mess, yang letaknya sekitar 2 km dari bandara
Demikianlah, hari demi hari berlalu hingga akhirnya Ramadhan pun tiba. Tapi ada yang berbeda. Suasana Ramadhan seperti "biasanya" nyaris tidak tampak di sana. Apalagi mess tempat kami menginap hanya tersedia sebuah tv yang terletak di pos satpam. Suasana Ramadhan di tv pun ikut lenyap. Inilah Ramadhan pertama seumur hidupku yang kujalani di kota yang penduduk muslimnya relatif sedikit. Minoritas bahkan. Persis seperti suasana puasa Senin Kamis. Warung-warung tetap buka. Tidak ada tutup-tutup seperti di kota-kota yang pernah kutinggali sebelumnya. Di beberapa tempat, orang merokok seperti biasa. Di angkutan umum, ada juga yang mengunyah permen karet. Kejadian sejenis juga terjadi ketika berada di kawasan proyek. Waktu makan siang, sebagian karyawan makan seolah-olah hari itu bukan bulan suci Ramadhan.
Sehari, dua hari, tiga hari, hingga seminggu. Aku sudah mulai terbiasa dengan keadaan ini. Juga mulai terbiasa dengan sholat tarawih bersama beberapa rekan di mess, karena masjid selain jarang juga sangat jauh. Selama bulan Ramadhan berlangsung, mungkin dapat dihitung tidak sampai jumlah jari di kedua tangan ini.
Salah satu mesjid yang aku tempat terawih adalah masjid raya. Masjid terbesar di Sorong. Tapi jika dibandingkan dengan masjid yang ada di Surabaya, mungkin masih kalah besar dengan luas masjid Muhajirin yang berada di kawasan Balai Kota Surabaya.
Dua kali shalat Tarawih di masjid itu, aku menemukan dua suasana. Suasana pertama ketika Ramadhan baru berjalan beberapa hari. Area parkir penuh dengan mobil dan motor. Aku sekilas melihat barisan shaft hingga ke area halaman masjid. Sementara suasana kedua ketika Ramadhan sudah memasuki minggu ketiga. Kalau tidak salah hitung, jumlah shaft masjid hanya sekitar 6 baris saja. Kejadian yang persis sama dengan yang terjadi di Jawa.
Diantara hari-hari menjalani Ramadhan, sempat pula aku bertemu secara tidak sengaja dengan kang Harry Moekti, yang ngakunya sebagai mantan artis. Saat itu aku sedang menemani rekan di sana untuk menghadiri acara buka puasa bersama. Ternyata untuk kultum-nya diisi oleh kang Harry. Banyak cerita yang beliau sampaikan, termasuk tentang jalan yang dipilihnya hingga menjadi seperti yang aku lihat saat itu. Muncul juga perasaan iri bisa memiliki ghirah seperti kang Harry.
Lebaran kurang 2 hari, sampai saat itulah aku berada di sana. Pada H-1, aku baru bisa pulang ke Surabaya. Tetap menggunakan pesawat yang sama. Merpati. Namun rutenya lebih singkat, yaitu Sorong - Makasar - Surabaya. Jam 2 WIT berangkat dari Sorong, sampai di Surabaya sekitar jam 3 WIB. Hanya satu jam ? Tentu saja tidak. Sorong dan Surabaya memiliki selisih waktu 2 jam. Artinya lama perjalanan adalah sekitar 3 jam.
Sesampai di rumah, waktu sudah menjelang magrib. Buka puasa terakhir untuk Ramadhan 1426H. Hanya moment itulah yang bisa kulalui bersama dengan istri yang baru saja kunikahi. Rasanya senang sekali bisa kembali berada di tengah-tengah keluarga.
Ramadhan 1426H, mungkin menjadi salah satu Ramadhan yang akan kuabadikan kisahnya untuk aku ceritakan pada anak cucuku kelak.
Kala itu, Ramadhan 1426H, seminggu sebelum Ramadhan berlangsung, untuk kepentingan sebuah pekerjaan team kami berangkat ke Sorong, Papua. Mungkin aku termasuk orang kebanyakan yang ketika mendengar kata Papua, dulu bernama Irian Jaya, langsung terbayang orang-orang berkulit hitam, berbadan kekar, rambut yang mlungker-mlungker, dan (maaf) bau badan cukup khas.
Perjalanan dimulai pada awal Oktober 2005. Rombongan berkumpul di bandara Juanda. Penerbangan menggunakan pesawat Merpati. Dengan rute Surabaya - Makasar - Manado - Sorong. Perjalanan Surabaya ke Makasar kami tempuh sekitar 1 setengah jam.
Ketika transit di Makasar, kami sempat pula dikejutkan dengan berita bom Bali II di Jimbaran, Bali. Setelah transit sebentar, hanya sekitar setengah jam, kami melanjutkan perjalanan ke Manado. Transit di Manado ternyata cukup lama. Mulai 11 WITA hingga pukul 4 WITA keesokan harinya. Dari Manado, perjalanan berlanjut ke Sorong. Sampai di Sorong sekitar pukul 6 WIT. Mungkin pada saat yang sama, orang-orang di Surabaya masih baru saja menggeliat bangun dari tidurnya, untuk menunaikan ibadah Sholat Shubuh. Memang, Sorong yang menggunakan WIT, memiliki selisih waktu dengan Surabaya yang menggunakan WIB selama 2 jam.
Heran bercampur kaget, begitu pesawat mulai landing di bandara Sorong. Kalo tidak salah nama bandara tersebut adalah Eduard Osok. Atau ... entahlah, aku sudah lupa cara mengeja nama bandara tersebut. Yang jelas, aku baru tahu jika ada bandara yang sebagian bangunannya terbuat dari papan. Sangat berbeda dengan bandara di Jakarta, Surabaya, Jogja, Denpasar, Makasar, Manado, atau Sepinggan. Benar-benar tidak seperti sebuah bandara.
Begitu tiba di bandara, kami langsung dijemput oleh tim kami yang lain, yang telah lebih dahulu merasakan Sorong. Singkat cerita kami semua menuju ke mess, yang letaknya sekitar 2 km dari bandara
Demikianlah, hari demi hari berlalu hingga akhirnya Ramadhan pun tiba. Tapi ada yang berbeda. Suasana Ramadhan seperti "biasanya" nyaris tidak tampak di sana. Apalagi mess tempat kami menginap hanya tersedia sebuah tv yang terletak di pos satpam. Suasana Ramadhan di tv pun ikut lenyap. Inilah Ramadhan pertama seumur hidupku yang kujalani di kota yang penduduk muslimnya relatif sedikit. Minoritas bahkan. Persis seperti suasana puasa Senin Kamis. Warung-warung tetap buka. Tidak ada tutup-tutup seperti di kota-kota yang pernah kutinggali sebelumnya. Di beberapa tempat, orang merokok seperti biasa. Di angkutan umum, ada juga yang mengunyah permen karet. Kejadian sejenis juga terjadi ketika berada di kawasan proyek. Waktu makan siang, sebagian karyawan makan seolah-olah hari itu bukan bulan suci Ramadhan.
Sehari, dua hari, tiga hari, hingga seminggu. Aku sudah mulai terbiasa dengan keadaan ini. Juga mulai terbiasa dengan sholat tarawih bersama beberapa rekan di mess, karena masjid selain jarang juga sangat jauh. Selama bulan Ramadhan berlangsung, mungkin dapat dihitung tidak sampai jumlah jari di kedua tangan ini.
Salah satu mesjid yang aku tempat terawih adalah masjid raya. Masjid terbesar di Sorong. Tapi jika dibandingkan dengan masjid yang ada di Surabaya, mungkin masih kalah besar dengan luas masjid Muhajirin yang berada di kawasan Balai Kota Surabaya.
Dua kali shalat Tarawih di masjid itu, aku menemukan dua suasana. Suasana pertama ketika Ramadhan baru berjalan beberapa hari. Area parkir penuh dengan mobil dan motor. Aku sekilas melihat barisan shaft hingga ke area halaman masjid. Sementara suasana kedua ketika Ramadhan sudah memasuki minggu ketiga. Kalau tidak salah hitung, jumlah shaft masjid hanya sekitar 6 baris saja. Kejadian yang persis sama dengan yang terjadi di Jawa.
Diantara hari-hari menjalani Ramadhan, sempat pula aku bertemu secara tidak sengaja dengan kang Harry Moekti, yang ngakunya sebagai mantan artis. Saat itu aku sedang menemani rekan di sana untuk menghadiri acara buka puasa bersama. Ternyata untuk kultum-nya diisi oleh kang Harry. Banyak cerita yang beliau sampaikan, termasuk tentang jalan yang dipilihnya hingga menjadi seperti yang aku lihat saat itu. Muncul juga perasaan iri bisa memiliki ghirah seperti kang Harry.
Lebaran kurang 2 hari, sampai saat itulah aku berada di sana. Pada H-1, aku baru bisa pulang ke Surabaya. Tetap menggunakan pesawat yang sama. Merpati. Namun rutenya lebih singkat, yaitu Sorong - Makasar - Surabaya. Jam 2 WIT berangkat dari Sorong, sampai di Surabaya sekitar jam 3 WIB. Hanya satu jam ? Tentu saja tidak. Sorong dan Surabaya memiliki selisih waktu 2 jam. Artinya lama perjalanan adalah sekitar 3 jam.
Sesampai di rumah, waktu sudah menjelang magrib. Buka puasa terakhir untuk Ramadhan 1426H. Hanya moment itulah yang bisa kulalui bersama dengan istri yang baru saja kunikahi. Rasanya senang sekali bisa kembali berada di tengah-tengah keluarga.
Ramadhan 1426H, mungkin menjadi salah satu Ramadhan yang akan kuabadikan kisahnya untuk aku ceritakan pada anak cucuku kelak.
No comments:
Post a Comment