Saturday, June 27, 2009

Colokan Listriknya Mana ?

Mungkin sudah saatnya para pelaku bisnis restoran, cafe, dan layanan publik lainnya yang mulai memikirkan bahwa salah satu fitur penting untuk kastamernya adalah COLOKAN LISTRIK.

Namun, masih banyak juga para pelaku bisnis tersebut yang berfikir konfensional. Dan merasa cukup puas dengan perkembangan bisnisnya saat ini. Bahkan ada pengusaha restoran yang harus menambal colokan listriknya dengan lakban. Sewaktu-waktu digunakan oleh mereka, maka lakban itu akan dibuka, setelah itu kembali ditutup dengan lakban. Seolah-olah colokan listrik itu tidak berfungsi.

Berapa sih harga listrik yang harus dibayarkan bila dibandingkan dengan kepuasan kastamer ? Bahkan tidak jarang banyak MALL pun masih memberlakukan dilarang menggunakan colokan listrik. Coba deh gunakan colokan listrik yang ada. Perhatikan dalam waktu dekat ada atau tidak satpam yang datang melarang kita menggunakannya, dengan alasan sudah aturan yang berlaku. Atau coba cari rumah sakit. Lihatlah kamarnya. Kelas I, II, atau bahkan kelas ekonomi. Tanyakan pada perawat boleh atau tidak menggunakan colokan listrik ?

MEDIT ??? Mungkin. Tapi menurut saya, lebih kepada cara pikir owner bisnisnya yang sudah kadaluarsa. Mereka mungkin tidak tau bahwa sekarang ini jamannya mobile. Kantor sudah berpindah kemana-mana. Rapat dapat dilakukan di mana-mana. Komunitas yang hobby hangout bersama berlama-lama sudah sedemikian luar biasa perkembangannya. Laptop, Netbook, PDA, dan berbagai perangkat mobile sudah sedemikian pesat. Dan semua itu butuh colokan listrik. Untuk apa ? Tentu saja untuk charge batre.

Nah, kini tergantung Anda. Apakah Anda sudah menambahkan fasilitas colokan listrik pada bisnis Anda ? Apapun itu jenis dan bentuk bisnis Anda. Atau Anda masih lebih memilih berminat dijuluki pebisnis kadaluarsa ?

Kerak Telor Terkapar di Surabaya

Baru saja hari jadi Kota Jakarta berlalu. Selain PRJ dengan segala "empet2an"-nya, hari jadi kota Jakarta seringkali dikaitkan dengan jajanan khas Betawi. Apalagi kalau bukan kerak telor. Makanan ringan berbahan dasar telor, ketan, kelapa, lada, dan beberapa rempah-rempah lainnya.

Di Surabaya sendiri, kerak telor sempat menjamur di beberapa kawasan. Sebut saja salah satunya adalah sepanjang jalan Kusuma Bangsa seberang Hitech-Mall a.k.a THR. Harga yang ditawarkan rata-rata 7000 sampe 8000 rupiah. Pada saat-saat awal dulu, para penjual kerak telor sempat diserbu masyarakat. Terlihat banyaknya penjual yang sibuk membuat kerak telor untuk stok sewaktu-waktu pembeli datang untuk membeli dagangannya. Memang kebanyakan dari pembeli, membeli untuk dibungkus. Tentu saja tetap dengan bungkusan khas kerak telor.

Seminggu yang lalu, saya sempatkan diri untuk hadir ditengah-tengah kepadatan pengunjung PRJ. Niatnya pengen tahu bagaimana PRJ sekarang. Ternyata hanya "empet" dan "lelah" yang saya dapatkan. PRJ memang bukanlah tipe pameran yang gue banget. Terakhir kali ke PRJ mungkin ketika masih SD dulu. Atau jangan-jangan saya memang belum pernah ke PRJ seumur-umur.

Nah, di saat-saat letih sedang mendera itulah saya sempatkan pula untuk membeli kerak telor. Ini adalah kerak telor pertama yang saya beli. Swear. Baru kali ini saya sempat merasakan bagaimana kerak telor itu.

Ketika duduk di kursi yang telah disediakan, kontan pedagang sudah menyodorkan kerak telor yang telah siap saji. Harganya 15rb. Wowww, mahal juga ya. Saya coba memakannya. Walah-walah, ternyata biasa banget. Hampir mirip rasanya dengan kl saya bikin telor goreng dengan taburan nasi jagung campur merica dan lada. Kirain nikmat kayak gimana. Sempet heran juga sih, gini aja kok sampe dibangga-banggakan warga betawi. Hehehehe ... maaf ini bukan SARA, lho. Mungkin mereka melihat dari sisi historis kali ya. Sementara saya hanya menilai pure dari sisi rasa dan tampilan kerak telor saja.

Pulang ke Surabaya, saya jadi penasaran dengan para penjual kerak telor yang ada di sepanjang Kusuma Bangsa. Ingin membandingkan apakah rasa kerak telor yang dijual juga seperti yang saya nikmati di PRJ itu ?

Sayang sungguh sayang. Perjalanan menuju Kusuma Bangsa sudah membayangkan penjual kerak telor berjejer-jejer sibuk membuat kerak telor. Ternyata yang saya temukan hanya satu pedagang. Itupun sedang "manyun" memandangi kendaraan yang berlalu lalang di depannya. Maksud hati ingin membeli kerak telor lagi langsung lenyap.

Memang sih kalo menurut penilaian saya, kerak telor yang senilai 7000 atau 8000 itu akan kalah pamor dibandingan dengan lontong balap, tahu campur, tahu tek, mi tek-tek, dan sebagainya. Jenis-jenis jajanan dengan harga sama, tapi sudah cukup melekat di lidah masyarakat Surabaya.

Oalah ... ternyata kerak telor yang melegenda itu hanya bisa segitu saja di Surabaya. Sekarang mungkin sudah terkapar. Bisa jadi sebentar lagi hanya tinggal cerita, bahwa di Surabaya pernah juga ada yang berjualan kerak telor.