Tak banyak kota-kota di luar pulau Jawa yang saya singgahi. Diantaranya, ada kota Samarinda. Berkaitan dengan kendala suplai listrik dari PLN untuk daerah di pulau-pulau selain Jawa, demikian pula dengan Samarinda. Lampu mati harus digilir oleh PLN. Sehingga tak jarang lampu mati ibarat puasa nabi Daud. Sehari menyala, sehari berikutnya mati.
Tentu saja hal ini sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Bahkan untuk warga atau kantor-kantor yang telah menjadikan genset sebagai salah satu kebutuhan wajib. Ironisnya, beberapa hotel melati yang ada di sana, juga turut bermasalah gara-gara tidak sanggup menyediakan listrik cadangan ketika mendapat giliran mati lampu.
Walau sama-sama hotel melati, namun perubahan menjadi tampak jelas antara hotel yang sanggup mensuplai listrik dengan yang tidak mampu. Hotel yang mampu membuat AC tetap menyala ketika lampu mati, selalu dipenuhi oleh pengunjung. Sementara hotel yang hanya mampu membuat lampu menyala mulai sepi. Apalagi hotel yang tidak mempunyai support genset sama sekali. Walau ruang yang ditawarkan lebih bersih, lebih besar, namun hanya mampu mematok harga tidak lebih dari 100 ribu.
Di sisi lain, kendala seringnya mati lampu ini, ternyata telah turut andil sebagai penyebab kebakaran yang sering kali terjadi di Samarinda. Memang tidak secara langsung. Misalnya karena lilin yang terguling karena ditinggal tidur, atau petromax yang meleduk, atau hubungan singkat yang terjadi karena pengaturan jalur kabel yang amburadul. Membuat kawasan-kawasan yang didominasi rumah-rumah kayu menjadi lahan empuk untuk lokasi kebakaran.
Bersyukurlah saya sebagai warga yang tinggal di Surabaya. Karena bisa dikatakan hampir tidak ada acara lampu mati. Semoga kita bisa semakin berhemat terhadap penggunaan listrik. Seperti moto PLN, yang penting matikan yang nggak penting.
Tentu saja hal ini sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Bahkan untuk warga atau kantor-kantor yang telah menjadikan genset sebagai salah satu kebutuhan wajib. Ironisnya, beberapa hotel melati yang ada di sana, juga turut bermasalah gara-gara tidak sanggup menyediakan listrik cadangan ketika mendapat giliran mati lampu.
Walau sama-sama hotel melati, namun perubahan menjadi tampak jelas antara hotel yang sanggup mensuplai listrik dengan yang tidak mampu. Hotel yang mampu membuat AC tetap menyala ketika lampu mati, selalu dipenuhi oleh pengunjung. Sementara hotel yang hanya mampu membuat lampu menyala mulai sepi. Apalagi hotel yang tidak mempunyai support genset sama sekali. Walau ruang yang ditawarkan lebih bersih, lebih besar, namun hanya mampu mematok harga tidak lebih dari 100 ribu.
Di sisi lain, kendala seringnya mati lampu ini, ternyata telah turut andil sebagai penyebab kebakaran yang sering kali terjadi di Samarinda. Memang tidak secara langsung. Misalnya karena lilin yang terguling karena ditinggal tidur, atau petromax yang meleduk, atau hubungan singkat yang terjadi karena pengaturan jalur kabel yang amburadul. Membuat kawasan-kawasan yang didominasi rumah-rumah kayu menjadi lahan empuk untuk lokasi kebakaran.
Bersyukurlah saya sebagai warga yang tinggal di Surabaya. Karena bisa dikatakan hampir tidak ada acara lampu mati. Semoga kita bisa semakin berhemat terhadap penggunaan listrik. Seperti moto PLN, yang penting matikan yang nggak penting.
1 comment:
ya. memang samarinda lampunya mati bergiir,asal rezekinya ngak bergilir jadi orang surabaya masih tetap ke samarinda.
Post a Comment