Monday, December 25, 2006

Dari Kematian Adi Firansyah

Sabtu Sore, 23 Desember 2006, bagi keluarga Adi Firansyah, salah satu selebritis kita, merupakan hari kelam dan menyedihkan. Adi yang lahir pada 26 September 1984, harus lebih cepat menghadap Yang Kuasa mendahului orang-orang dekatnya.

Namun, bukan itu yang sedang saya bicarakan kali ini. Saya lebih fokus pada kecelakaan motor yang terjadi Antara Adi dan Alif. Keduanya berinisial "A".

Pertama, tentang helm yang digunakan Adi. Helm 3/4 yang dikabarkan terlempar jauh pada saat kecelakaan terjadi. Bukannya ingin menuduh orang yang sudah meninggal, namun saya hanya terbayang pada beberapa kecelakaan yang menimpa saya sendiri. Lalu bayangan tersebut berpindah ke kebiasaan pengendara yang tidak menganggap helm sebagai item penting pada saat berkendara.

Banyak pengendara yang menggunakan helm yang asal-asalan. Asal ada helm. Asal tidak disetop Bapak Polisi di jalan. Selain itu, banyak pengendara yang asal-asalan memasang tali pengikat. Ada yang hanya diikatkan begitu saja, bahkan ada juga yang tidak menggunakannya. Nah bagaimana mungkin helm dapat berfungsi dengan baik, jika tidak ada di kepala pada saat terjadi kecelakaan.

Untuk memfungsikan helm dengan baik, yang merupakan kebutuhan masing-masing pengendara, pihak terkait harus sibuk mempromosikan bunyi "klik" ketika menggunakan helm. Ironis bukan ?

Kedua, Usia Alif yang masih berusia 9 tahun. Ini yang paling membuat saya kecewa dengan masyarakat kita. Bukankah seusia itu belum berhak mengendarai kendaraan sendiri ? Sudah jelas seusia itu pasti tidak mempunyai SIM. Berarti yang salah adalah orang tuanya. Yang mengijinkan anaknya melakukan sesuatu yang harusnya belum boleh.

Tapi coba perhatikan di jalan-jalan. Coba perhatikan parkiran motor Sekolah Tingkat Pertama. Saya jelas-jelas menyalahkan orang tua mereka. Orang Tua yang saya anggap kurang bertanggung jawab dengan keselamatan anaknya. Dan sekaligus keselamatan orang lain.

Malam Natal Pukul 21.00

Mungkin kali ini saya menuliskan sesuatu yang agak berbau SARA. Tidak ada maksud menyerang sesuatu. Yang ada hanyalah sekedar ungkapan hati.

Minggu Malam, 24 Desember 2006, sekitar pukul 21.00 WIB. Seperti biasa, saya sedang menjemput istri saya dari rumah sakit tempatnya bekerja. Rute dari rumah memang tidak terlalu panjang. Sehingga kondisi di jalanan sudah sangat saya pahami betul. Termasuk tingkat kemacetan jalan-jalan tersebut.

Bahkan sebelum berangkat dalam hati sudah ada prediksi, pasti akan ada beberapa titik yang saya lalui mengalami kemacetan karena memang sedang ada pelaksanaan Misa Natal di gereja-gereja.

Pada perjalanan pulang, ternyata memang betul apa yang saya prediksi. Area Kristus Raja macet sekali. Sehingga arus kendaraan dialihkan ke arah Jl. Ambengan. Saya pun terpaksa harus mengikuti pengalihan arus tersebut. Wajar memang. Namanya juga malam hari raya. Lha wong setiap Minggu saja sudah seringkali macet.

Hal yang sebaliknya terjadi di sepanjang Jl. Kertajaya. Untuk ukuran jam 9 malam di Minggu malam, kondisi jalan saya anggap terlalu sepi dari biasanya. Yang ada hanyalah beberapa mobil dan motor-motor yang dapat dipacu lebih kencang karena jalanan terasa lebih lapang. Hal inilah yang agak mengusik hati saya. Pada kemana sih semua orang yang biasa lalu lalang ? Mungkin sedang menghadiri Misa malam Natal barangkali. Tapi bukankah hanya yang beragama Kristen/Katolik saja yang merayakan Natal. Lalu kemana mereka-mereka yang tidak beragama Kristen/Katolik ?

Apa selama ini yang biasa memenuhi jalan Kertajaya dengan mobil-mobilnya adalah orang Kristen/Katolik ?

Saturday, December 23, 2006

Monday, December 18, 2006

National Single Window

Sabtu kemarin, 16 Desember 2005, saya ikut menghadiri acara makan-makan tutup tahun di perusahaan yang sedang mempercayakan pembenahan sistem informasi perusahaannya kepada saya.

Perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang bergerak di bidang Jasa Kepabeanan. Dan sangat erat kaitannya dengan aktivitas ekspor dan impor.

Acara makan-makan yang dihadiri oleh segenap sumber daya dari perusahaan tersebut (pegawai administrasi, layanan customer, hingga sopir dan kernet), diawali dengan pengantar dari pimpinan perusahaan tersebut, sebut saja Mr. X.

Banyak hal yang disampaikan. Namun dari sekian banyak point yang disampaikan, ada satu hal yang menarik perhatian saya.


"National Single Window (NSW)"





Diinformasikan bahwa pada satu hari sebelumnya, 15 Desember 2006, Pemerintah secara resmi "baru" meresmikan tim NSW. Sementara beberapa negara di ASEAN justru sudah mulai menerapkannya.

National Single Windows ini merupakan sebuah upaya untuk menyatukan infomasi yang berkaitan dengan aktivitas ekspor dan impor satu Indonesia melalui satu portal bersama. Dengan harapan informasi menjadi semakin cepat dan dapat dinikmati oleh semua pihak tanpa harus menghadapi banyaknya hambatan administrasi yang selama ini sering terjadi. Sebuah upaya sebagai batu lompatan untuk ikut serta berperan membentuk ASW (ASEAN Single Window).

Mr. X, juga sempat meramalkan bahwa jika baru pada tanggal 15 Desember 2006 ini kita baru membuat tim NSW, maka bisa jadi 4-5 tahun ke depan NSW baru bisa terealisasi. Sementara jika Malaysia atau Singapura, hanya membutuhkan waktu 2 tahun saja untuk bisa merealisasikannya.

Nah, komentar inilah yang menarik perhatian saya. Sebagai seorang yang sudah sangat lama berkecimpung di dunia kepabeanan, tentu komentar itu tidak muncul begitu saja tanpa dasar yang jelas.

Tentu saja saya yakin bahwa komentar itu tidak dalam rangka meng-underestimate kemampuan Indonesia. Namun lebih membandingkan pada fakta yang ada di negeri tercinta ini.

Yang jadi renungan saya sekaranga adalah, jika negara tetangga mampu merealisasikan hanya dengan 2 tahun saja, mengapa Indonesia harus membutuhkan waktu hingga 5 tahun ? Apa karena alasan Indonesia adalah negara yang luas ? Atau karena sumber daya kita yang kurang siap ? Atau karena apa ya ?

Tuesday, December 12, 2006

Ternyata Salim Juga Bisa Seperti Ini

Bagi yang baru mengenal Salim, mungkin akan memiliki image bahwa Salim adalah orang yang berbobot sepanjang umurnya.
Namun bagi orang yang sudah lama mengenal Salim. Pasti akan tahu, bahwa Salim juga pernah kurus seperti ini.
Pada saat pengambilan foto ini, Salim hanya memiliki berat badan 58 kg.
Foto ini diambil untuk mendokumentasikan bagaimana jika kita terlalu serius untuk menyelesaikan Tugas Akhir. Diambil pada sekitar akhir tahun 2000. Berlokasi di Ruang Sekretariat Himpunan Mahasiswa Teknik Komputer.

Saturday, December 09, 2006

Mafia Parkir Tepi Jalan Umum

Mungkin bagi pengendara kendaraan bermotor roda dua di Surabaya, adalah hal yang lumrah untuk tarif parkir di sebuah gedung, mall, atau tempat-tempat tertentu yang dikelola oleh pihak swasta senilai Rp. 1000,-. Dan, saya pun tentu saja ikut lumrah.

Sementara, untuk parkir di tepi jalan umum, Dinas Perhubungan Pemkot Surabaya selaku pengelola sekaligus penanggung jawab terhadap pendapatan asli daerah dari sektor parkir tepi jalan umum, telah metetapkan tarifnya senilai Rp. 300,-.
(Berdasarkan Perda No 9/2000)

Jadi, jika membayar Rp. 500,-, bagi saya itu bukan masalah. Dan saya juga tidak pernah memperdulikan atau meminta karcis retribusi yang seharusnya menjadi hak saya untuk saya terima.

Namun saya sering kali dibuat geram, setiap harus mengeluarkan uang senilai Rp. 1000,- tersebut ketika harus parkir di tepi jalan umum. Parkir jenis ini jelas ilegal. Selain tafirnya yang 3 kali lipat dari yang ditetapkan, juga tidak ada bukti retribusi parkir yang diberikan. Kadang kala, retribusi yang seharusnya diberikan ke pengendara motor, justru diberi nomor untuk digunakan berkali-kali oleh penjaga parkir.

Kegeraman tersebut akhirnya membuat saya menyempatkan diri untuk sedikit menginterogasi salah satu petugas parkir yang kedapatan "memalak" saya Rp. 1000,- untuk tarif parkir.

Terjadilah percakapan sebagai berikut antara saya (SS) dan Tukang Parkir (TP) :
SS : "Pak, kenapa sih saya harus membayar Rp. 1000,- padahal tarif retribusi parkir tepi jalan umum seharusnya cuma Rp. 300,- ?"

TP : (Alasan klasik) "Soalnya setorannya segitu, Mas".
SS : "Lho, setoran ke mana pak ? Ke kantor Dinas Perhubungan ?"
TP : "Ya nanti ada petugasnya yang ndatangin mas."
SS : "Kan Bapak tinggal nyetor sejumlah retribusi yang habis"
TP : "Wah, kalo gitu ya enak. Kita ini setiap bulan kadang cuman dapet 1 blok karcis. Satu blok itu isinya 100 lembar. Kalo 300an brarti kan 30.000,- per blok. Tapi kita setornya ya nggak segitu Mas. Satu blok kita harus beli. Tapi yang ngerti itung-itungan persisnya ya bos saya. Saya di sini cuma kerja mas. Digaji.

Pembicaraan pun berlanjut. Namun satu hal yang saya tangkap dari kejadian ini adalah sesuatu yang mungkin sudah menjadi rahasia umum. Pendapatan yang terkumpul dari sektor parkir tepi jalan umum tentu sangat sedikit jika dibandingkan dengan realita di lapangan. Bayangkan saja, jika hitung-hitugan penerimaan didasarkan pada jumlah karcis yang terdistribusi sementara tidak semua (hampir tidak ada) pengendara kendaraan bermotor yang mendapatkan karcis retribusi. Berapa uang yang menguap. Belum lagi jika dikaitkan dengan tarif yang tinggi menjulan. Pantas saja wacana parkir berlangganan ditolak mentah-mentah oleh pihak-pihak (saya lebih senang menyebutnya oknum-oknum) yang merasa diuntungkan.

Kita tunggu saja, apakah Pemerintah Daerah sanggup membenahinya, atau justru melestarikannya karena sang eksekutor kebijakan juga merupakan bagian dari mafia parkir tepi jalan umum.

Thursday, December 07, 2006

Kembali ke SAMSAT

Bagi masyarakat pada umumnya, rata-rata hanya berhubungan dengan SAMSAT sebanyak jumlah kendaraan yang dimiliki untuk setiap tahunnya. Itupun belum pasti, karena banyak juga yang memanfaatkan jasa pengurusan surat-surat kendaraan bermotor.

Termasuk saya, praktis saya hanya berhubungan dengan SAMSAT ketika mengurus pembayaran pajak kendaraan atau perpanjangan STNK. Bahkan saya tidak tahu, apakah masih ada urusan lain selain hal yang sudah disebutkan di atas.

6 Desember, merupakan tanggal yang tertera di STNK salah satu kendaraan bermotor yang saya miliki. Seharusnya saya sudah harus mengurus sebelum hari tersebut. Namun namanya juga banyak kesibukan, maka baru pada tanggal tersebut saya menyempatkan diri untuk mengurusnya.

Paginya, sepulang dari Jember, sekitar pukul 08.00 saya segera mengambil STNK kendaraan tersebut yang kebetulan sedang berada di rumah orang tua di Menganti. Kurang lebih 1 jam waktu yang saya butuhkan untuk pulang pergi Surabaya ke Menganti, rumah orang tua saya.

Maksud hati ingin segera mengurus ke SAMSAT yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah, namun karena letih, saya menyempatkan diri untuk istirahat sejenak di rumah. Namun ternyata saya tertidur hingga pukul 12-an. Langsung saja saya bersiap-siap untuk segera menuju ke SAMSAT dan berharap loket pelayanan belum tutup.

Perlu diketahui, nomor kendaraan dari kendaraan yang saya urus adalah nomor kendaraan Gresik (W). Namun sudah sejak lama, tidak masalah membayar pajak kendaraan tersebut di Surabaya. Hal ini karena layanan link yang menghubungkan data Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo.

Namun apa daya, sesampai loket petugas menyampaikan bahwa layanan link hanya dibuka hingga pukul 12.00. Dan jam dinding sudah menunjukkan pukul 12.30. Petugas pun menyarankan agar besok kembali lagi. Besok ? Brarti tanggal 7 Desember. Tidak mungkin, karena masa jatuh temponya saja tanggal 6 Desember.

Berarti saya harus segera ke Gresik, karena SAMSAT Gresik, harusnya melayani hingga pukul 14.00 setiap Senin hingga Kamis. Dan langsung saya melaju ke Gresik dengan sesegera mungkin.

Sampai di SAMSAT Gresik, waktu sudah menunjukkan pukul 13.30. Brarti belum tutup. Namun sayangnya, ternyata waktu saya sampai di loket pengambilan formulir, ternyata sudah tutup. Saya mencoba meyakinkan bahwa seharusnya loket masih harus melayani hingga pukul 14.00. Dan informasi itu juga tertera di loket yang tutup tadi.

Saya mencoba untuk bertanya pada petugas yang kebetulan ada di ruang sebelah loket pengambilan formulir. Jawaban sama pun saya terima. Besok saja Mas, kembali lagi. Saya pun sedikit kecewa, karena seharusnya saya masih di layani. Karena waktu pelayanan masih ada hingga pukul 14.00. Dengan agak emosi, saya utarakan kekecewaan saya tersebut kepada petugas tersebut. Akhirnya saya diberi solusi oleh petugas tersebut. Saya disuruh membeli map kosong, kemudian berkas BPKB, STNK, dan KTP dimasukkan ke dalamnya, dan segera diantarkan ke loket pembayaran.

Pada saat saya menyerahkan map yang tidak sesuai dengan prosedur, mulanya petugas penerima tidak mau menerima, dan berkeras untuk menyuruh saya kembali keesokan harinya dengan terlebih dahulu mengambil formulir terlebih dahulu. Respon yang sama pun saya sampaikan ke petugas tersebut. Dan karena memang waktu pelayanan masih ada, akhirnya petugas tersebut pun mengalah. Akhirnya saya berhasil menyelesaikan pembayaran pajak kendaraan tepat pada tanggal jatuh tempo. Artinya saya tidak sampai harus dikenai denda keterlambatan.

Semula, saya menganggap aktivitas pembayaran pajak ini sebagai sesuatu hal yang biasa. Namun, hanya karena jam 13.30, loket pengambilan formulir sudah tutup lah yang menyebabkan saya ingin menuliskannya disini.