Saturday, December 09, 2006

Mafia Parkir Tepi Jalan Umum

Mungkin bagi pengendara kendaraan bermotor roda dua di Surabaya, adalah hal yang lumrah untuk tarif parkir di sebuah gedung, mall, atau tempat-tempat tertentu yang dikelola oleh pihak swasta senilai Rp. 1000,-. Dan, saya pun tentu saja ikut lumrah.

Sementara, untuk parkir di tepi jalan umum, Dinas Perhubungan Pemkot Surabaya selaku pengelola sekaligus penanggung jawab terhadap pendapatan asli daerah dari sektor parkir tepi jalan umum, telah metetapkan tarifnya senilai Rp. 300,-.
(Berdasarkan Perda No 9/2000)

Jadi, jika membayar Rp. 500,-, bagi saya itu bukan masalah. Dan saya juga tidak pernah memperdulikan atau meminta karcis retribusi yang seharusnya menjadi hak saya untuk saya terima.

Namun saya sering kali dibuat geram, setiap harus mengeluarkan uang senilai Rp. 1000,- tersebut ketika harus parkir di tepi jalan umum. Parkir jenis ini jelas ilegal. Selain tafirnya yang 3 kali lipat dari yang ditetapkan, juga tidak ada bukti retribusi parkir yang diberikan. Kadang kala, retribusi yang seharusnya diberikan ke pengendara motor, justru diberi nomor untuk digunakan berkali-kali oleh penjaga parkir.

Kegeraman tersebut akhirnya membuat saya menyempatkan diri untuk sedikit menginterogasi salah satu petugas parkir yang kedapatan "memalak" saya Rp. 1000,- untuk tarif parkir.

Terjadilah percakapan sebagai berikut antara saya (SS) dan Tukang Parkir (TP) :
SS : "Pak, kenapa sih saya harus membayar Rp. 1000,- padahal tarif retribusi parkir tepi jalan umum seharusnya cuma Rp. 300,- ?"

TP : (Alasan klasik) "Soalnya setorannya segitu, Mas".
SS : "Lho, setoran ke mana pak ? Ke kantor Dinas Perhubungan ?"
TP : "Ya nanti ada petugasnya yang ndatangin mas."
SS : "Kan Bapak tinggal nyetor sejumlah retribusi yang habis"
TP : "Wah, kalo gitu ya enak. Kita ini setiap bulan kadang cuman dapet 1 blok karcis. Satu blok itu isinya 100 lembar. Kalo 300an brarti kan 30.000,- per blok. Tapi kita setornya ya nggak segitu Mas. Satu blok kita harus beli. Tapi yang ngerti itung-itungan persisnya ya bos saya. Saya di sini cuma kerja mas. Digaji.

Pembicaraan pun berlanjut. Namun satu hal yang saya tangkap dari kejadian ini adalah sesuatu yang mungkin sudah menjadi rahasia umum. Pendapatan yang terkumpul dari sektor parkir tepi jalan umum tentu sangat sedikit jika dibandingkan dengan realita di lapangan. Bayangkan saja, jika hitung-hitugan penerimaan didasarkan pada jumlah karcis yang terdistribusi sementara tidak semua (hampir tidak ada) pengendara kendaraan bermotor yang mendapatkan karcis retribusi. Berapa uang yang menguap. Belum lagi jika dikaitkan dengan tarif yang tinggi menjulan. Pantas saja wacana parkir berlangganan ditolak mentah-mentah oleh pihak-pihak (saya lebih senang menyebutnya oknum-oknum) yang merasa diuntungkan.

Kita tunggu saja, apakah Pemerintah Daerah sanggup membenahinya, atau justru melestarikannya karena sang eksekutor kebijakan juga merupakan bagian dari mafia parkir tepi jalan umum.

2 comments:

Eddy Fahmi said...

heh, resminya 300 toh? selama ini tak kira 500 itu standard :p

Anonymous said...

iya mas, seringnya di sini 500 perak :D tapi kadang masih ada yang narik bayaran padahal tulisanya "bebas parkir". apakah bebas parkir=parkir gratis?