Friday, February 19, 2010

Charger Itu Bernama Pak Maman

Hati sedang gundah. Ada permasalahan penting yang sedang menghimpit. Menemani perjalanan pergi ke Jember, bahkan hingga ketika pulang.

Dengan menggunakan Mutiara Malam, otak berputar keras, mencari solusi, mencari jalan keluar, mengkonsep strategi. Tiada terasa kereta sudah berangsur melintasi Stasiun Probolinggo.

Rasa letih seharian, letih badan, letih pikiran, perlahan mengantarkanku ke alam lain. Sebuah alam di mana frekuensi otak sudah meninggalkan status beta. Hingga tiba-tiba aku dikagetkan oleh hiruk pikuk orang melintas melewati kursi tempat aku duduk.

Aku terbangun, refleks kuraih tas punggung yang senantiasa menemaniku ke mana-mana. Aku pun turut melenggang menuju pintu keluar. Hmmmm rupanya sudah sampai stasiun Wonokromo. Begitu aku turun dari kereta, aku masih termangu. Masih bingung, mengapa aku ikut turun di stasiun ini. Padahal rencanaku ingin turun di Stasiun Gubeng.

Kebingungan yang belum mendapatkan jawaban, ketika kereta sudah mulai berlalu meninggalkan Stasiun Wonokromo. Alhasil aku pun hanya bisa menuju pintu keluar, sambil otak ini mereload menuju ke status normal. Baru ketika langkah kaki melaju beberapa meter, otak sudah mulai dapat kembali bekerja dengan normal. Baru sadar bahwa waktu Subuh sudah berlalu. Saatnya untuk sholat Shubuh.

Kuayunkan kaki menuju mushola yang letaknya dapat aku ketahui setelah sempat bertanya ke penjaga kios. Dari arah yang ditunjukkan, tampak terlihat papan penunjuk yang menjelaskan bahwa bangunan itu memang benar-benar sebuah musholla.

Ketika melintas menuju lokasi itu, baru tersadar bahwa gerimis sedang berlangsung. Karena dari tempat aku turun dari kereta hingga musholla berada, terdapat area yang tidak memiliki atap.

Selesai sholat Subuh, sempat berdiri termangu di luar musholla sambil memandang ke luar.air yang tercurah perlahan membasahi bumi. Saat itulah seseorang yang ketika sholat Subuh sempat dalam satu jamaah menyapaku. Kami bersalaman. Ternyata namanya adalah pak Maman. Seorang yang ketika memperkenalkan diri, membuatku tahu bahwa dia sedang ditimpa kesusahan.

Akhirnya aku dan Pak Maman memutuskan untuk duduk bersama bersandar di dinding Musholla. Mata kami sama-sama memandang ke luar. Air hujan masih bergantian satu-satu membasahi bumi. Pak Maman pun mulai bercerita.

Sudah 10 hari berada di Surabaya. Meninggalkan pekerjaan sehari-harinya sebagai Guru Agama di sebuah Sekolah Dasar di Cilacap. Cilacap adalah sebuah kota di Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan Jawa Barat.

Pak Maman harus berada di Surabaya dalam rangka mencari anaknya yang telah 3 bulan meninggalkan rumah. Dari kerabatnya, dia mendapatkan informasi bahwa anaknya sedang berada di Bungurasih. Kerabatnya tersebut sempat mengajak si anak pulang, namun sayang upayanya tidak berhasil.

Berbagai pelosok tempat sudah didatangi Pak Maman. Mulai dari pondok pesantren, pasar, mall, hingga Dolly. Ya benar, pak Maman sampai harus blusukan ke Dolly, untuk mencari anaknya tersebut. Dalam proses pencarian, pak Maman juga sudah sempat mengunjungi JTV. Sebuah stasiun swasta yang harus dibayar 150rb untuk sekedar melaporkan berita kehilangan anak. Alasan dari JTV adalah uang tersebut sebagai biaya operasional penyebaran berita. Hmmm, baru tahu kalau ingin mengabarkan berita kehilangan harus mengeluarkan uang hingga segitu. Atau hal ini hanya berlaku di JTV ??? Entahlah.

Dalam proses pencarian itu pula, pak Maman masih harus mengalami kecurian dompetnya. KTP, SIM, dan uang sakunya ludes digondol oleh si Maling. Surat keterangan dari Kantor Polisi tertanggal 16 Februari 2010 yang menegaskan kejadian tersebut. Untung saja, dia masih sempat membawa KTP lama yang sudah tidak berlaku dalam tasnya, sehingga dapat digunakan untuk melaporkan kejadian itu ke Kantor Polisi. Dengan berbekal uang yang tersisa di saku, pak Maman terus melanjutkan upayanya. Namun tentu saja kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup di Surabaya.

Akhirnya untuk dapat terus menjalankan misinya, pak Maman harus menjual HPnya yang ternyata hanya dihargai tidak sampai 100rb saja. Hingga ketika bertemu denganku di Musholla itu, uang yang masih ada ditangannya tersisa 3rb saja. Dengan uang segitu, apa yang bisa dilakukan di Surabaya. Boro-boro untuk mencari anaknya, uang segitu hanya cukup untuk naik angkot sekali jalan.

Sempat aku tawarkan untuk aku antar ke Suara Surabaya, sebuah radio yang cukup melekat di telinga masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Namun tawaran itu ditolak secara halus oleh pak Maman. Pak Maman lebih memilih untuk pulang saja ke Cilacap, memikirkan strategi baru. Karena sejak HPnya dijual, Pak Maman sudah tidak bisa melakukan komunikasi lagi dengan keluarganya di Cilacap.

Akhirnya aku temani dia menuju Stasiun Bungurasih. Selama dalam perjalanan itulah dia banyak bercerita macam-macam. Berbagai cerita yang ketika masuk ke telingaku, langsung terkonversi sebuah ajakan untuk terus yakin pada kebesaran Allah. Terus menjaga agar selalu yakin, bahwa Allah selalu ada disisi kita untuk menyiapkan berbagai rencana-Nya sebagai jalan keluar dari berbagai permasalahan kita.

Secara kebetulan, suara D'Masif yang mengalun dari speaker bis dengan tepat mewarnai suasana cerita tersebut.

Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik

Tak ada manusia
Yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali
Segala yang telah terjadi

Tuhan pasti kan menunjukkan
Kebesaran dan kuasanya
Bagi hambanya yang sabar
Dan tak kenal putus asa

Sebuah pernyataan yang masih aku ingat hingga sekarang dari pak Maman adalah "Bisa bertemu dengan mas Salim ini adalah sebuah rahasia Ghaib yang tidak bisa disangka-sangka".

Benar pak, saya bisa bertemu dengan pak Maman juga adalah rahasia Allah. Allah telah menunjukkan di mana saya harus men-charge semangat kembali. Membuat saya untuk tetap positif thinking terhadap segala apa yang terjadi pada kita. Sikap tawakkal yang luar biasa pak Maman itu, telah mampu memberi semangat baru untuk terus menatap kedepan dengan keyakinan 100%. Tanpa ragu, bahwa Allah selalu hadir lebih dekat dari urat nadi kita.